Jakarta, CNBC Indonesia – Sejumlah eksportir komoditas tambang, minyak sawit hingga karet tengah menikmati “durian runtuh”. Hal tersebut menyusul naiknya harga sejumlah komoditas tersebut belakangan ini.

Meski banyak perusahaan bergerak di sektor komoditas, namun nyatanya tak juga membuat rupiah menguat. Pada perdagangan Senin (22/04/2024) pukul 13.20 WIB, nilai tukar rupiah berada pada posisi Rp 16.220 per US$.

Alih-alih membantu pemerintah dengan menaruh miliaran dolar Amerika Serikat (AS) dari pendapatan mereka ke bank-bank di dalam negeri, mereka justru memilih menyimpannya di luar negeri.

Padahal, keberadaan uang dolar milik eksportir sedang diperlukan untuk melindungi perekonomian Indonesia menghadapi pelemahan rupiah.

Lantas, mengapa sulit mendorong para eksportir itu untuk menaruh uangnya di Indonesia?

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, memaksa para eksportir memasukkan Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Daya Alam (SDA) ke dalam sistem keuangan Indonesia cukup sulit dilakukan karena sejumlah alasan.

Pertama, suku bunga deposito valas di Singapura lebih menarik dibandingkan Indonesia. Perusahaan eksportir SDA, menurut Bhima, sangat pragmatis untuk mencari imbal hasil deposito yang lebih tinggi.

Kedua, pemerintah dan Bank Indonesia masih ragu untuk melakukan kebijakan wajib DHE secara memaksa karena tidak mau disebut capital control.

“Padahal logikanya perusahaan tambang diberi konsesi izin oleh negara, seharusnya negara bisa memaksa uang hasil ekspor dimasukkan lagi ke dalam negeri,” kata Bhima kepada CNBC Indonesia, Senin (22/4/2024).

Bahkan, Bhima mendorong, agar tidak hanya sekedar dolarnya yang masuk ke dalam negeri, namun pemerintah dapat memaksa para eksportir ini melakukan konversi mata uang dari dolar ke rupiah.

“Ketiga, perusahaan eksportir cenderung mengamankan dolar di luar negeri dengan alasan fleksibilitas untuk berbagai keperluan lain misalnya impor barang modal seperti mesin, alat berat dan lain-lain,” kata dia.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai, menguatnya dolar terhadap rupiah membuat beberapa perusahaan di sektor pertambangan “happy” karena diuntungkan dari kegiatan hasil ekspor. Misalnya, perusahaan yang bergerak di sektor batu bara, timah, hingga nikel dan produk turunannya.

“Menguatnya US$ di Rp 16.200 menguntungkan ekspor komoditi ekstraktif seperti batu bara, timah, nikel dan produk turunannya,” kata Fahmy.

Komoditas andalan Indonesia dari hasil pertambangan selama ini didominasi oleh batu bara, produk turunan nikel dan lainnya. Oleh sebab itu, menguatnya dolar dan naiknya harga komoditas tentunya akan turut mengerek pendapatan para perusahaan yang bergerak di komoditas tersebut.

Misalnya saja seperti sektor batu bara. Pada Jumat (19/4/2024), harga batu bara di pasar ICE Newcastle berada di level US$ 141,75 per ton. Angka ini mengalami kenaikan sebesar 0,53%.

Dari sisi produksi, batu bara RI pada 2023 mencapai 775 juta ton, naik 13% dibandingkan realisasi produksi pada 2022 yang mencapai 687 juta ton. Hal ini juga sekaligus menandakan produksi batu bara tertinggi sepanjang masa.

Dari realisasi produksi batu bara sebesar 775 juta ton, pemanfaatan untuk domestik tercatat mencapai 213 juta ton dan ekspor 518 juta ton. Pada tahun ini untuk target produksi batu bara 2024 dipatok sebesar 710 juta ton, dengan kebutuhan batu bara untuk domestik sebesar 181,28 juta ton.

Kemudian untuk nikel, harga komoditas nikel mencapai level tertinggi dalam tujuh bulan pada perdagangan Jumat (19/4/2024). Hal ini didorong oleh pembicaraan pasar mengenai rencana China yang membeli logam tersebut untuk persediaan negara dan kekhawatiran tentang berkurangnya pasokan dari eksportir utama Indonesia.

Pada perdagangan Jumat (19/4/2024) harga nikel ditutup di level US$ 19.326 per metrik ton atau sekitar Rp 314,05 juta (US$1= Rp 16.250). Logam tersebut, yang digunakan dalam baja tahan karat dan baterai kendaraan listrik, sebelumnya mencapai US$19.440 (Rp 315,9 juta), tertinggi sejak September 2023.

Harga nikel terdorong oleh pembicaraan pasar bahwa penimbun China, Badan Pangan dan Cadangan Strategis Nasional, berencana membeli nikel pig iron (NPI), bahan baku utama untuk baja tahan karat, menurut sumber industri.

Indonesia sendiri selama ini merupakan produsen nikel terbesar di dunia dan pemasok utama ke China. Sepanjang tahun lalu contohnya, realisasi produksi bijih nikel RI hampir mencapai 200 juta ton, persisnya sebesar 193,5 juta ton.

Adapun tingginya produksi bijih nikel dalam negeri seiring dengan peningkatan kapasitas smelter atau fasilitas pemurnian dan pemrosesan nikel untuk menggenjot program hilirisasi. Seperti diketahui, ekspor bijih nikel telah dilarang sejak 2020 lalu.

Seperti diketahui, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023 yang merevisi aturan sebelumnya yakni PP No.1 tahun 2019, tentang DHE dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan atau pengolahan sumber daya alam (SDA).

Peraturan ini mengamanatkan supaya DHE SDA yang disimpan eksportir minimal US$ 250 ribu di sistem keuangan domestik paling singkat berjangka waktu tiga bulan sejak penempatan dalam rekening khusus SDA.

[Gambas:Video CNBC]



Artikel Selanjutnya


Sri Mulyani Ungkap Masalah Besar, Banyak yang Gak Sadar!


(wia)




Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *